Materi


Pengertian Cerpen 

Seperti yang diketahui, cerpen merupakan suatu karya sastra dalam bentuk tulisan yang mengisahkan tentang sebuah cerita fiksi lalu dikemas secara pendek, jelas dan ringkas. Cerpen biasanya hanya mengisahkan cerita pendek tentang permasalahan yang dialami satu tokoh saja.

Cerpen juga bisa disebut sebagai fiksi prosa karena cerita yang disuguhkan hanya berfokus pada satu konflik permasalahan yang dialami oleh tokoh mulai dari pengenalah karakter hingga penyelesaian permasalahan yang dialami oleh tokoh. Cerpen juga terdiri tidak lebih dari 10.000 kata saja.

Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Saat membaca cerpen biasanya sangat cepat selesai. Selain itu, isi pada cerpen juga sangat mudah dipahami karena ceritanya yang relatif pendek. Oleh karena itu banyak orang yang suka dengan cerita yang singkat dan tidak rumit seperti pada cerpen.

Pada umumnya, permasalahan yang dikisahkan pada cerpen tidak terlalu rumit. Maka dari itu jumlah kata pada cerpen juga dibatasi. Biasanya cerpen terdiri dari berbagai kisah seperti genre percintaan, kasih sayang, jenaka, dan lain-lain. Pada cerpen juga mengandung pesan dan amanat untuk para pembaca, sehingga bukan hanya terhibur saja kita bisa menerapkan setiap pesan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Struktur Cerpen

1. Abstrak

Abstrak merupakan pemaparan gambaran awal dari cerita yang dikisahkan. Pada cerpen abstrak biasanya digunakan sebagai pelengkap cerita. Maka dari itu abstrak bersifat opsional atau bisa jadi tidak ada pada cerpen tersebut.

2. Orientasi

Pada orientasi cerpen biasanya menjelaskan tentang latar cerita seperti waktu, suasana, tempat/lokasi yang digunakan dalam penggambaran cerita cerpen.

3. Komplikasi

Komplikasi menjelaskan tentang struktur yang berkaitan dengan pemaparan awal suatu masalah yang dihadapi oleh tokoh. Watak dari tokoh juga dijelaskan pada bagian ini. Selain itu pada komplikasi juga menjelaskan urutan kejadian yang berhubungan dengan sebab akibat.

4. Evaluasi

Pada bagian evaluasi ini terjadi konflik masalah yang semakin memuncak. Konflik mulai menuju bagian klimaks dan mendapatkan penyelesaian atas masalah yang terjadi.

5. Resolusi

Resolusi merupakan bagian akhir permasalahan yang terjadi pada cerpen. Pada bagian ini terdapat penjelasan dari pengarang mengenai solusi permasalahan yang dialami tokoh.

6. Koda

Koda merupakan nilai atau pesan moral yang terdapat pada sebuah cerpen yang disampaikan oleh penulis kepada para pembaca. Pesan moral yang disampaikan sesuai dengan jenis cerpen.

Unsur-Unsur Instriksik Cerpen

1. Tema

Unsur intrinsik cerpen yang pertama adalah tema atau topik masalah, di setiap karya seni tulis, tema adalah unsur pertama yang harus dipenuhi seorang pengarang. Hal ini karena tem ialah seperti sebuah nyawa dari sebuah karya tulis, termasuk cerpen.

Dikarenakan hal itu tema dapat disebut sebagai ide atau gagasan yang melatarbelakangi secara menyeluruh cerita yang ada dalam sebuah cerpen. Tema dapat ditentukan oleh pengarang secara bebas.

Namun karangan ini cenderung pada sebuah curahan hati seorang pengarang yang dia luapkan kedalam sebuah karya seni tulis. Hal inilah yang membuat kebanyakan cerpen membahas tentang persahabatan, lingkungan, percintaan, atau mungkin pengalaman pribadi penulis.

2. Tokoh

Unsur intrinsik cerpen yang selanjutnya merupakan tokoh. Tokoh adalah seorang pelaku fiktif yang diciptakan oleh seorang pengarang dalam sebuah cerpen pada sebuah cerpen, tokoh dapat dibagi menjadi 2 golongan yang merupakan tokoh utama serta tokoh pembantu.

Tokoh utama dapat juga digolongkan menjadi dua yaitu tokoh baik dah jahat (protaginis dan antagonis).  Kemudian kedua tokoh inilah yang akan menjadi sorotan didalam cerpen.

Kemudian pada umumnya setiap tokoh utama pasti akan dibantu oleh tokoh pembantu. Kemudian tokoh pembantu ialah tokoh yang membantu pemeran utama. Selain membantu tokoh utama, tokoh pembantu merupakan sebagai warna tambahan di dalam cerpen.

Kemudian terdapat pula watak tokoh dalam sebuah cerpen yang dibagi menjadi 4 yaitu:

  • Tokoh protagonis, sifat dari tokoh yang satu ini adalah baik. Biasanya sifat ini dimiliki oleh tokoh utama yang ada di cerpen.
  • Tokoh antagonis, sifat ini merupakan  sifat jahat yang dimiliki oleh tokoh utama juga dan tugas dari sifat yang satu ini ialah menentang sifat protagonis.
  • Tokoh tritagonis, merupakan sikap penengah dari seorang tokoh. tugas dari tokoh ini ialah menengahi antara tokoh baik dan jahat. Kemudian di dalam cerpen tokoh dengan watak ini adalah bijaksana.
  • Tokoh figuran, merupakan tokoh pembantu. Toko ini merupakan pemberi warna tambahan di dalam cerpen namun tokoh ini tidak sering muncul di dalam cerpen.

    3. Penokohan

    Unsur intrinsik cerpen yang satu ini (penokohan) adalah cara pengarang menggambarkan tokoh dalam cerpen. Terdapat 3 penggambaran yaitu :

    1. Penggambaran memalui fisik dari tokoh.
    2. Penggambaran dengan cara percakapan yang dilakukan sendiri maupun yang dilakukan oleh tokoh lain.
    3. Reaksi dari tokoh yang lain, bisa berbentuk pendapat, komentar, sikap, dan atau lain sebagainya.

      4. Alur

      Alur adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan penulis untuk sebuah cerpen. Terdapat pula tahapan alur yaitu sebagai berikut :

      1. Tahap perkenalan, tahap adalah pembuka cerita informasi awal tahap ini berfungsi untuk melandasi cerita yang akan disampaikan pengarang untuk tahap berikutnya.
      2. Tahap konflik, tahap ini merupakan awal masalah yang timbul. Disinilah pengarang memberi gambaran awal permasalahan dalam cerita yang dibuat oleh pengarang.
      3. Tahap klimaks, Konflik-konflik yang diterima oleh semua tokoh pasti akan memiliki tahap puncak. Biasanya ditahap ini tokoh utama akan mulai bingung dan sedih.
      4. Tahap Peleraian, Setelah maslah memuncak pasti akan menurun juga. Pengarang akan menaruh solusi pada salah yang akan terbentuk, dan cara pengarang memberikan solusi dengan berbagai cara, misalnya memunculkan tokoh pembantu pada cerita tersebut.
      5. Penyelesaian, ini merupakan akhir dari cerpen yang biasanya memiliki cerita dimana tokoh utama merayakan kemenangan, kesenangan atau kegembiraan.

      Terdapat pula jenis alur yaitu maju, mundur dan campuran.

      • Alur maju yaitu rangkaian cerita yang bergerak maju kedepan dan berurutan
      • Alur mundur yaitu rangkaian cerita yang mengingat masa lalu atau flashback
      • Alur campuran alur ini merupakan perpaduan antara alur maju dan mundur. Namun alur ini jarang digunakan oleh para penulis.

        5. Latar

        Latar adalah keterangan waktu, ruang serta suasana. Unsur intrinsik cerpen yang ini mempunyai hubungan sangat erat dengan tokoh dalam peristiwa.Kemudian ada pula penjelasan dari masing-masing latar yaitu:

        1. Latar Waktu, yaitu keterangan kapan terjadinya peristiwa yang dialami oleh tokoh tersebut
        2. Latar Tempat, merupakan penjelasan tempat dimana kejadian atau peristiwa yang dialami oleh tokoh
        3. Latar Suasana, Merupakan keterangan suasana yang digambarkan oleh penulis di sebuah cerpen. Latar suasana tergambarkan oleh perasaan dari tokoh atau dari skenario yang dibuat oleh pengarang.

        6. Sudut Pandang

        Unsur intrinsik sudut pandang adalah kedudukan seorang pengarang didalam suatu cerita, atau dapat juga disebut dengan cara pengarang untuk menyampaikan cerita itu. Sudut pandang sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

        • Sudut pandang orang pertama: Merupakan cara seorang pengarang menyampaikan cerita memakai kata ganti aku. Maksud dari penggantian ini adalah tokoh utama cerita itu adalah si pengarang itu sendiri. Biasanya sudut pandang ini digunakan karena cerpenya menceritakan pengalaman pribadi.
        • Sudut pandang orang ketiga: Merupakan cara penyampaian cerita yang menggunakan kata ganti dia. Yang memiliki maksud bahwa di dalam cerpen itu, tokoh merupakan fiktif yang dibuat oleh penulis.

        7. Gaya Bahasa

        Gaya bahasa merupakan cara seorang pengarang menguraikan cerita. Cangkupan dari gaya bahasa sendiri ialah penggunaan kalimat, pemilihan diksi, dan penghemat kata. Serta unsur inilah yang menjadi ciri khas dari setiap pengarang.

        8. Amanat atau pesan

        Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan dari penulis cerita untuk pembaca dengan melalui karangan yang dia buat. Rata-rata pengarang tidak menuliskan pesan ini di dalam keranganya. Akan tetapi pembaca sendirilah yang menyimpulkan apa pesan yang terkandung didalam karangan tersebut. 

        Contoh Cerpen

      • Kupandangi telegram yang barusan kubaca, Batinku galau. Ibu sakit Diah, pulanglah! 

        Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak sri menyuruhku pulang? Tapi …. Benarkah Ibu sakit? Bayangkan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat. Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak kami sendirian. Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana berjam-jam. Mengawasi rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik bukit. 

        Tidak. Ibu bahkan tak pernah kelihatan lelah dimalam hari. Saat semua aktivitas seharian yang menguras kekuatan fisiknya berlalu. Ibu selalu kelihatan sangat kuat. 

        Tak hanya kuat, dari mulutnya pun masih kerap terdengar ungkapan-ungkapan pedas, khususnya yang ditujukan kepadaku.

        “Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! Bekerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!”

        komentarnya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku sama sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada dipangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak menghasilkan. 

        Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan para pemuda desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa tujuan. Kalau kami, anak-anak muda yang berkumpul disana sedang mencoba menyumbangkan pemikiran bagi kemajuan desa. Bagi wanita sederhana itu, menghalau ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar, dan adu pendapat. 

        “kau pikir bicara bisa membuatmu mendapatkan uang?” 

        Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan menantang matanya yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan yang mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya Ibu melihat kegiatan pemilihan lurah desa, dan tak hanya berkutat dengan ternak – ternaknya di padang rumput. Pak Kades takkan terpilih kalau dia tak punya kemampuan meyakinkan dan menenangkan rakyatnya! 

        Akan tetapi, kalimat itu hanya ketelan dalam hati. Tak satu pun kumuntahkan di hadapannya. 

        Caraku berpakaian pun tak pernah benar dimatanya. Ada saja yang salah. Yang tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah dan segalanya. Sebetulnya aku heran, kenapa tiga mbakku yang semuanya perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan pemahaman Ibu. Mereka bisa sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa banyak bertengkar dengan Ibu. Lulus sekolah, menikah dan punya anak … dan sekali lagi, tanpa mengalami pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku? Rasanya tak ada satu hal pun, yang pernah kulakukan, yang dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang. 

        Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita itu. Kucoba memasakkan sesuatu untuknya. Meski semua saudaraku tahu, aku benci kegiatan dapur itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karena Ibu sama sekali tak menghargai usahaku. 

        “beginilah jadinya kalau anak perempuan Cuma bisa belajar. Tak tahu bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti kalau begini Diah?” 

        Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku menghadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya. Aku capek. Maka saat ada kesempatan pergi meninggalkan rumah, dan meneruskan pendidikan ke bangku kuliah, dengan peluang bea siswa, kegempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tidak lepas dari tangan. Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar – komentarnya yang menyakitkan. 

        Masih terngiang di telingaku suaranya yang bernada mengejek waktu melihat aku mempersiapkan diri menghadapi tes bea siswa itu. 

        “Kau tak kan berhasil Diah! Tak usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apapun kedudukannya!” 

        Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu berusaha menahan diri. Setidaknya hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah. Dan untuk pertama kali aku berani menantang matanya yang selalu bersinar sinis, dan kurasakan tanpa kasih. 

        Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupanggil Ibu selama ini, tak pernah dan tak akan pernah mencintai diriku! 

        “Diah … kok melamun?” 

        Aku mengusap air mata yang menitik. Laila yang menangkap kesedihanku menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian. 

        “ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!” ujarnya mencoba melucu. 

        Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi beban dihatiku, kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di balik kerudung coklat yang dikenakannya. Aku berdehem berat.“Li … percayakah kamu kalau aku bilang, ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”. 

        Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh di telinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga selalu melimpahinya dengan banyak kasih dan perhatian. Jauh sekali bila dibandingkan Ibu! 

        “Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat seseorang menjadi Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili hati-hati. 

        Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh kegembiraan dan saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita tentang Ibu, dan ketidakadilan yang diberikan wanita itu padaku. 

        Sekali lagi airmataku menitik. Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah menjenguk Ibu. Ya, tidak sama sekali pun! Meski batinku terasa kering. Bagaimanapun sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa kupersembahkan pada wanita yang melahirkanku. Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkannya itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih dimataku, apalagi membalasnya dengan pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli! 

        Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara perlahan? Mungkin tidak dalam artian kata benci sesungguhnya. Terus terang, aku mulai menghapus namanya dalam kehidupanku. 

        Dalam tahun-tahun yang telah kulalui aku hanya mengirim surat dan foto pada semua kakak dan keponakanku. Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara rutin kusisihkan uang honor menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan langsung. Selalu lewat salah satu kakakku. Paling sering lewat mbak Sri. 

        Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar … melupakan Ibu! 

        “Diah … kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali terdengar. Batinku makin kisruh. 

        Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah melupakan Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti dan menghormati Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam shalat – shalat yang kulalui. 

        Bukan aku tak mencintainya. Tapi … sepertinya itu kehendak Ibu sendiri untuk dilupakan! 

        “Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?” tanyaku akhirnya tanpa daya. Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku. 

        “Itu aja kok, bingung! Barangkali dia kangen padamu. Tengoklah Ibu, Di! Eh, kapan terakhir kali bertemu?” 

        Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah yang tak pernah kumanfaatkan untuk pulang kampung, sebaliknya malah berkunjung ke tempatnya atau menghabiskan waktu di kos, merentang hari. 

        “Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!” 

        jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu kaget. Lima tahun bukan waktu yang singkat. 

        “Kamu harus pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan tiket kereta. Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm…apa ya, kesukaan beliau?” Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan dan kepanikan luar biasa. Seakan membayangkan mengunjungi ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima tahun! 

        “Tak perlu repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku halus, tetapi Laili tetap bersikeras. 

        “Hey … jangan begitu dong, Di!selama ini kamu selalu repot-repot saat mengunjungi kami. Jadi .. biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali ini. Lagi pula, kamu masih harus mempersiapkan presentasi skripsimu, kan?” Aku menyerah. Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi,“Kamu yakin aku harus pulang, Li?” Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya. 

        “Tentu, pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!” 

        Ahh… andai Laili tahu, perempuan macam apa Ibuku itu! Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut, tetapi Ibuku? Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak-petak kecil disampingnya. Dimana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal. Saat aku masuk kedalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya. Barangkali kehilangan sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang, setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh sakit. Akan tetapi, beliau tidak pernah mengijinkan mereka mengabarkan padaku. Karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisikku dalam hati. Mbak Ningsih yang melihat kecanggunganku menjelaskan. Di pangkuannya duduk dua bocah cilik bergelayut manja. 

        “Ibu tak ingin aku mengganggu kuliahmu, Diah!” 

        Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu. Sejak kapan Ibu memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak perempuan Cuma akan ke dapur? 

        Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menambahkan, “Ibu sering bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa kuliahmu? Berapa lama lagi selesai.”

        “Sebetulnya Ibu sangat kangen kepadamu Diah, tapi Ibu lebih mementingkan kuliahmu.” Mbak Sri menambahkan di tengah aktivitas menyusui anaknya. Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan selama jadi anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun, perkataan kakak-kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku tak merasa kejadian lima tahun yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang makin memantapkan hatiku untuk pergi. Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat pedas padaku. Tujuannya satu, agar aku tak pergi. Bagiku, sikap Ibu saat itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Sementara orang lain akan menyambut gembira keberhasilan anak-anaknya meraih bea siswa macam ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini? Kucoba menuliskan telinga, tetapi kalimat-kalimat pedasnya tak berangsur surut. Malah bertambah keras. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karyaku

Profil