Dua Bocah Dan Cita-Cita Mulianya
karya: Zakiatul Maulidiyah
Siang tadi selepas hujan lebat mengguyur
kampung batik itu;begitulah orang-orang seringkali menyebutnya. Mataku terfokus
pada dua bocah di seberang sana yang sedang asyik menikmati guyuran air dari
langit, sesekali tangan mereka menengadah sambil memejamkan mata keduanya,
sebentar kemudian mereka kembali mengusap bulir-bulir air yang membasahi wajah
mereka. Ah, asyik sekali rupanya. Mereka benar-benar membawaku pada ingatan
masalalu.
Setelah beberapa saat, hujan kian mereda,
fokusku masih tetap pada dua bocah lelaki itu, umur mereka berkisar 9/10
tahunan. Mereka berlarian menuju bilik yang sedang aku duduki ini. Di hadapanku
pula seorang ibu paruh baya dengan payung di genggamannya berujar pada kedua
bocah tersebut untuk segera mandi agar tidak masuk angin.
Kuperhatikan dengan seksama, dua bocah yang
kini sudah bertelanjang bulat itu masih saja berlarian ke sana kemari. Mereka
membawa beberapa gayung air lalu menuangkannya ke satu bak hitam besar.
Kuperhatikan kembali ternyata ada ikan di dalamnya, ya, ikan mujair;dua bocah
itu menyebutnya.
Sebetulnya gerimis sisa hujan tadi masih
tersisa, namun kedua bocah tersebut masih asyik dengan ikan di hadapan mereka.
Sambil lalu mereka berdiskusi, entah apa yang mereka diskusikan, hatiku
tergelitik, aku ingin menghampiri mereka, menyapa, bertanya, lalu apa tanggapan
yang akan mereka berikan nantinya.
Jadilah saat hujan benar-benar mereda, meski
ada sisa bulir gerimis beberapa tetes. Kuputuskan untuk menghampiri dua bocah
itu. Kupikir mereka anak yang nakal, tidak peduli, dan tak akan menghiraukanku.
Ah, ternyata pradugaku salah besar. Bahkan saat langkah kakiku tiba di hadapan
mereka, kedua bocah itu menyambutku dengan senyum sumringah yang teramat tulus
aku terima.
Langsung saja kusapa keduanya, dengan sapaan
ringan.
“Eh, ini ikan apa dik? Besar sekali.” Tegurku.
“Ini ikan mujair, mb. Bisa dimakan ini,” ucap
salah satu dari mereka. Bocah ini aktif sepertinya, selain mudah bergaul, dia
juga asyik saat mengobrol. Karena aku tidak ingin membiarkan satu bocah di
sampingku ini terdiam, maka aku tanya siapa nama mereka.
“Namanya siapa?”
“Saya Imdat, Imdat Rabbani.” Jelasnya.
“Saya Mohammad Faiq,” tutur bocah lelaki yang
sedari tadi seperti malu-malu ini.
“Namanya kok sama dengan nama adik, mb ya,
tapi dia perempuan,” ucapku.
“Loh, iya. Namanya sama dengan nama saya,”
akui bocah yang mengaku sebagai Faiq tersebut.
“Kalian sekolah dimana,”
“Saya di ini, saya di itu,” jawab mereka,
meski aku sendiri tidak tahu dimana tempatnya, ku iyakan saja.
“Kalian punya cita-cita?" Nah, kali itu aku
bertanya perihal apa impian atau cita-cita mereka. Kupikir awalnya mereka
ingin menjadi dokter, polisi, dan lain
sebagainya. Namun, pradugaku lagi-lagi salah.
“Saya mau jadi ustadz.” Ujar Imdat
“Klo Dik Faiq?” tanyaku kembali.
“Sama, saya juga ingin menjadi seorang ustadz,
seperti kakak.” Jelasnya.
Aku benar-benar terkejut dan tidak menyangka.
Cita-cita yang mereka impikan adalah menjadi seorang ustadz. MasyaAllah, jarang
sekali kita menemukan bocah-bocah yang luar biasa seperti mereka. Kupikir
mereka tidak mengerti apa-apa. Nyatanya jauh di luar pradugaku sebenarnya. Ya Rabb.
Ampunilah kami. Mulia sekali cita-cita mereka. Doaku saat hendak meninggalkan
keduanya, semoga kelak kalian menjadi sebaik-baiknya manusia, setaat-taanya
hamba, dan berbakti untuk orangtua, agama, nusa dan bangsa.
Aku Yang Tidak Setara Denganmu
“Sekarang
kamu kuliah?”
“Aku
kerja Tante” Jawabku sedikit gugup, tapi berusaha
tersenyum.
“Kenapa gak
kuliah?”
“Gak
punya biaya. Kalau punya, aku juga mau kuliah kok.”
“Lulusan
SMA aja dong, ya?”
“Iya
Tante” Aku sedikit tertawa, berusaha menyembunyikan
segalanya.
“Anak
saya mau lanjut kuliah S2, mau saya fokuskan ke pendidikan aja biar mapan.
Kalau nanti ada yang ngelamar kamu, terima aja. Dia gak akan kecewa atau
menyesal, saya pastikan itu.”
Andai saja saat itu aku tidak bertemu
denganmu, mungkin jalan cerita kita tidak akan sepanjang ini untuk diakhiri.
Ternyata aku yang salah dari awal, tidak sadar
diri akan posisiku.
Aku pikir hanya dengan mencintaimu dengan
tulus, itu cukup. Kita sangat jauh berbeda, bahkan terlampau untuk itu.
Pikiranku terlalu fokus untuk membahagiakanmu
apa adanya, sedangkan mereka berusaha membuatmu bahagia dengan cara yang
sempurna.
Kasta dan martabat, aku tidak punya hal
semewah itu untuk bersanding dengan dirimu.
Benar kata Ibumu; aku tidak cukup pantas ada
di sana, di sampingmu untuk hal-hal bahagia. Terima kasih atas kisah kemarin,
setidaknya aku bisa mengenalmu sebagai orang baik dalam kisahku di masa lalu
nanti.
Tujuan kita memang sama, tapi aku menolak
sadar bahwa jalur kita sangat berbeda untuk langkah mencapai itu.
Hiduplah bahagia ...
Jangan pikirkan aku, semoga kau mendapat yang
lebih layak untuk berada di hati keluargamu.
Ibumu
"Ini
Zakiah?"
"Injih
bu, saya." Jawabku sedikit gugup mendengar
pertanyaan seorang ibu paruh baya itu. Suaranya seperti tak asing di telingaku;
aku seperti pernah atau sempat berbicara dengannya beberapa waktu lalu, tetapi
lebih tepatnya kapan; aku sudah lupa.
"Saya
Bu Rini, Zakiah. Ibunya Aris." Mendengar itu
seketika jantungku seperti berhenti berdegup. Benar sekali pradugaku. Beberapa
waktu lalu aku memang sempat berbicara dengan ibu Mas Aris.
"Oh,
injih bu. Ada yang bisa Zakiah bantu bu?" tanyaku
kembali.
"Ibu
ingin bicara padamu, kira-kira ditelpon ini bisa ya?" kali kedua jantungku dibuat seperti tak bekerja.
"Bisa,
bu." jawabku singkat. Aku betul-betul kalap,
bingung, dan arghhh entahlah.
"Zakiah..." lama tidak ada kelanjutan, akupun terdiam beberapa saat.
"Zakiah
sudah berapa lama mengenal Aris?"
"Kurang
lebih dua tahun setengah bu," ucapku.
"sudah
lama, ya?"
"InsyaAllah
jika tidak keliru bu."
"Sudah
semester berapa, Zakiah?"
"Alhamdulillah
sudah semester lima, bu." lagi-lagi aku dibuat
takut. Apakah Mas Aris juga sudah menceritakan ini kepada ibunya.
Ya Allah, setelah Hanif dan Bagas kini juga
ibunya ia beritahu. Apa mau orang itu sebenarnya.
"Sama
dengan Aris berarti ya."
"Betul
bu, sama."
"Kamu
sudah pernah ke rumah ibu Zakiah?"
"Sekitar
tujuh bulan yang lalu bu." jawabku mencoba
mengingat kapan kali terakhir aku mengunjungi rumah Aris bersama dengan teman
lainnya untuk membahas proker di organisasi kami.
"Sudah
tau rumah ibu berarti Zakiah, ya."
"Alhamdulillah,
sudah bu."
"Bagaimana?
Sudah tau keadaan Aris?" atas pertanyaan itu aku
dibuat diam, apa yang harus aku jawabkan.
"Injih,
bu. Sudah."
"Lalu?
Bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Aris kembali.
Aku hanya terdiam, aku bingung. Apa jawaban
yang hendak aku ucapkan. Aku tidak memiliki keputusan apapun setelah aku tau
bahwa rasaku hanya sekadar bunga yang akan jatuh terurai angin.
"Mohon
maaf, bu. Keputusan bagaimana yang ibu tanyakan kepada Zakiah?"
Bukan sebuah jawaban, Ibu Aris tersenyum.
"Zakiah,
kau ingin berbohong kepada siapa lagi setelah Aris kamu bohongi atas perasaanmu
itu? Ibu juga perempuan. Zakiah. Ibu sudah pernah muda, sama
sepertimu dan Aris,"
Ya, benar rupanya Aris sudah memberitahu
ibunya perihal ini. Aku tidak ingin
memutuskan apa-apa, bu. Besitku dalam
hati.
Komentar
Posting Komentar