Karyaku

Helloo, manteman. Setelah belajar dan memahami apa itu cerpen dan strukturnya. Nih, ada bonus dari Zakiah. Silakan dinikmati ya, rekomendasi sambil lalu menyeruput kopi hangat. Hehehe. 

awas jangan baper, ya. cerita ini mengandung bawang.wkwkw

Dua Bocah Dan Cita-Cita Mulianya

karya: Zakiatul Maulidiyah

    Siang tadi selepas hujan lebat mengguyur kampung batik itu;begitulah orang-orang seringkali menyebutnya. Mataku terfokus pada dua bocah di seberang sana yang sedang asyik menikmati guyuran air dari langit, sesekali tangan mereka menengadah sambil memejamkan mata keduanya, sebentar kemudian mereka kembali mengusap bulir-bulir air yang membasahi wajah mereka. Ah, asyik sekali rupanya. Mereka benar-benar membawaku pada ingatan masalalu.

    Setelah beberapa saat, hujan kian mereda, fokusku masih tetap pada dua bocah lelaki itu, umur mereka berkisar 9/10 tahunan. Mereka berlarian menuju bilik yang sedang aku duduki ini. Di hadapanku pula seorang ibu paruh baya dengan payung di genggamannya berujar pada kedua bocah tersebut untuk segera mandi agar tidak masuk angin.

    Kuperhatikan dengan seksama, dua bocah yang kini sudah bertelanjang bulat itu masih saja berlarian ke sana kemari. Mereka membawa beberapa gayung air lalu menuangkannya ke satu bak hitam besar. Kuperhatikan kembali ternyata ada ikan di dalamnya, ya, ikan mujair;dua bocah itu menyebutnya.

    Sebetulnya gerimis sisa hujan tadi masih tersisa, namun kedua bocah tersebut masih asyik dengan ikan di hadapan mereka. Sambil lalu mereka berdiskusi, entah apa yang mereka diskusikan, hatiku tergelitik, aku ingin menghampiri mereka, menyapa, bertanya, lalu apa tanggapan yang akan mereka berikan nantinya.

    Jadilah saat hujan benar-benar mereda, meski ada sisa bulir gerimis beberapa tetes. Kuputuskan untuk menghampiri dua bocah itu. Kupikir mereka anak yang nakal, tidak peduli, dan tak akan menghiraukanku. Ah, ternyata pradugaku salah besar. Bahkan saat langkah kakiku tiba di hadapan mereka, kedua bocah itu menyambutku dengan senyum sumringah yang teramat tulus aku terima.

    Langsung saja kusapa keduanya, dengan sapaan ringan.

“Eh, ini ikan apa dik? Besar sekali.” Tegurku.

“Ini ikan mujair, mb. Bisa dimakan ini,” ucap salah satu dari mereka. Bocah ini aktif sepertinya, selain mudah bergaul, dia juga asyik saat mengobrol. Karena aku tidak ingin membiarkan satu bocah di sampingku ini terdiam, maka aku tanya siapa nama mereka.

“Namanya siapa?”

“Saya Imdat, Imdat Rabbani.” Jelasnya.

“Saya Mohammad Faiq,” tutur bocah lelaki yang sedari tadi seperti malu-malu ini.

“Namanya kok sama dengan nama adik, mb ya, tapi dia perempuan,” ucapku.

“Loh, iya. Namanya sama dengan nama saya,” akui bocah yang mengaku sebagai Faiq tersebut.

“Kalian sekolah dimana,”

“Saya di ini, saya di itu,” jawab mereka, meski aku sendiri tidak tahu dimana tempatnya, ku iyakan saja.

“Kalian punya cita-cita?" Nah, kali itu aku bertanya perihal apa impian atau cita-cita mereka. Kupikir awalnya mereka ingin  menjadi dokter, polisi, dan lain sebagainya. Namun, pradugaku lagi-lagi salah.

“Saya mau jadi ustadz.” Ujar Imdat

“Klo Dik Faiq?” tanyaku kembali.

“Sama, saya juga ingin menjadi seorang ustadz, seperti kakak.” Jelasnya.

    Aku benar-benar terkejut dan tidak menyangka. Cita-cita yang mereka impikan adalah menjadi seorang ustadz. MasyaAllah, jarang sekali kita menemukan bocah-bocah yang luar biasa seperti mereka. Kupikir mereka tidak mengerti apa-apa. Nyatanya jauh di luar pradugaku sebenarnya. Ya Rabb. Ampunilah kami. Mulia sekali cita-cita mereka. Doaku saat hendak meninggalkan keduanya, semoga kelak kalian menjadi sebaik-baiknya manusia, setaat-taanya hamba, dan berbakti untuk orangtua, agama, nusa dan bangsa.


Aku Yang Tidak Setara Denganmu

“Sekarang kamu kuliah?”

“Aku kerja Tante” Jawabku sedikit gugup, tapi berusaha tersenyum.

“Kenapa gak kuliah?”

“Gak punya biaya. Kalau punya, aku juga mau kuliah kok.”

“Lulusan SMA aja dong, ya?

“Iya Tante” Aku sedikit tertawa, berusaha menyembunyikan segalanya.

“Anak saya mau lanjut kuliah S2, mau saya fokuskan ke pendidikan aja biar mapan. Kalau nanti ada yang ngelamar kamu, terima aja. Dia gak akan kecewa atau menyesal, saya pastikan itu.”

    Andai saja saat itu aku tidak bertemu denganmu, mungkin jalan cerita kita tidak akan sepanjang ini untuk diakhiri.

    Ternyata aku yang salah dari awal, tidak sadar diri akan posisiku.

  Aku pikir hanya dengan mencintaimu dengan tulus, itu cukup. Kita sangat jauh berbeda, bahkan terlampau untuk itu.

  Pikiranku terlalu fokus untuk membahagiakanmu apa adanya, sedangkan mereka berusaha membuatmu bahagia dengan cara yang sempurna.

   Kasta dan martabat, aku tidak punya hal semewah itu untuk bersanding dengan dirimu.

  Benar kata Ibumu; aku tidak cukup pantas ada di sana, di sampingmu untuk hal-hal bahagia. Terima kasih atas kisah kemarin, setidaknya aku bisa mengenalmu sebagai orang baik dalam kisahku di masa lalu nanti.

 Tujuan kita memang sama, tapi aku menolak sadar bahwa jalur kita sangat berbeda untuk langkah mencapai itu.

  Hiduplah bahagia ...

 Jangan pikirkan aku, semoga kau mendapat yang lebih layak untuk berada di hati keluargamu. 


Ibumu

"Ini Zakiah?"

"Injih bu, saya." Jawabku sedikit gugup mendengar pertanyaan seorang ibu paruh baya itu. Suaranya seperti tak asing di telingaku; aku seperti pernah atau sempat berbicara dengannya beberapa waktu lalu, tetapi lebih tepatnya kapan; aku sudah lupa.

"Saya Bu Rini, Zakiah. Ibunya Aris." Mendengar itu seketika jantungku seperti berhenti berdegup. Benar sekali pradugaku. Beberapa waktu lalu aku memang sempat berbicara dengan ibu Mas Aris.

"Oh, injih bu. Ada yang bisa Zakiah bantu bu?" tanyaku kembali.

"Ibu ingin bicara padamu, kira-kira ditelpon ini bisa ya?" kali kedua jantungku dibuat seperti tak bekerja.

"Bisa, bu." jawabku singkat. Aku betul-betul kalap, bingung, dan arghhh entahlah.

"Zakiah..." lama tidak ada kelanjutan, akupun terdiam beberapa saat.

"Zakiah sudah berapa lama mengenal Aris?"

"Kurang lebih dua tahun setengah bu," ucapku.

"sudah lama, ya?"

"InsyaAllah jika tidak keliru bu."

"Sudah semester berapa, Zakiah?"

"Alhamdulillah sudah semester lima, bu." lagi-lagi aku dibuat takut. Apakah Mas Aris juga sudah menceritakan ini kepada ibunya.

Ya Allah, setelah Hanif dan Bagas kini juga ibunya ia beritahu. Apa mau orang itu sebenarnya.

"Sama dengan Aris berarti ya."

"Betul bu, sama."

"Kamu sudah pernah ke rumah ibu Zakiah?"

"Sekitar tujuh bulan yang lalu bu." jawabku mencoba mengingat kapan kali terakhir aku mengunjungi rumah Aris bersama dengan teman lainnya untuk membahas proker di organisasi kami.

"Sudah tau rumah ibu berarti Zakiah, ya."

"Alhamdulillah, sudah bu."

"Bagaimana? Sudah tau keadaan Aris?" atas pertanyaan itu aku dibuat diam, apa yang harus aku jawabkan.

"Injih, bu. Sudah."

"Lalu? Bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Aris kembali.

Aku hanya terdiam, aku bingung. Apa jawaban yang hendak aku ucapkan. Aku tidak memiliki keputusan apapun setelah aku tau bahwa rasaku hanya sekadar bunga yang akan jatuh terurai angin.

"Mohon maaf, bu. Keputusan bagaimana yang ibu tanyakan kepada Zakiah?"

Bukan sebuah jawaban, Ibu Aris tersenyum.

"Zakiah, kau ingin berbohong kepada siapa lagi setelah Aris kamu bohongi atas perasaanmu itu? Ibu juga perempuan. Zakiah. Ibu sudah pernah muda, sama sepertimu dan Aris,"

Ya, benar rupanya Aris sudah memberitahu ibunya perihal ini. Aku tidak ingin memutuskan apa-apa, bu. Besitku dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil

Materi